Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan

0 komentar
Pulau Tidung merupakan pulau terbesar dalam gugusan pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Pulau hunian penduduk ini memiliki luas sekitar 109 ha dengan populasi sekitar 4000 jiwa dengan 2000 kepala keluarga Nama Pulau Tidung berasal dari kata Tidung (dalam aksen penduduk setempat pada waktu itu), yang artinya tempat berlindung, karena pulau ini sering dijadikan sebagai tempat untuk berlindung dari bajak laut atau perompak,Maka Pulau ini dinamakan Pulau Tidung yaitu pulau untuk tempat berlindung.
 
Menurut Buku Sedjarah Djakarta, yang terbit tahun 1960 atau 1970-an diceritakan, ketika Fatahillah menyerbu Portugis di Malaka, ia menggunakan pulau-pulau di teluk Jakarta ini sebagai basis mengatur strategi pada zaman dahulu, salah satunya adalah Pulau Tidung.

Berdasarkan keterangan penduduk setempat, Pulau Tidung mulai dihuni oleh penduduknya sekitar tahun 1920-an. Pada waktu itu ada seorang penjaga pulau yang didatangkan dari Rawa Belong, Jakarta Barat. Pada tahun 1942 ( saat penjajah Jepang datang ke Indonesia) penduduk Pulau Tidung sempat diungsikan ke daerah Tegal Alur Jakarta Barat. Pengungsian tersebut berlangsung selama tiga tahun, hingga tahun 1945, kemudian penduduk tersebut dapat kembali ke pulau Tidung setelah Penjajahan Jepang lengser.

Kini Pulau Tidung menjadi pusat Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan yang membawahi 3 Kelurahan antara lain: Kelurahan Pulau Pari, Kelurahan Pulau Untung Jawa dan Kelurahan Pulau Tidung.

Read More »

0 komentar
Pada abad ke-17, pulau ini merupakan penunjang aktivitas Pulau Onrust karena letaknya yang tidak berjauhan dengannya. Karena menjadi penunjang, di pulau ini dibangun pula sarana-sarana penunjang. Pada tahun 1679, VOC membangun sebuah rumah sakit lepra atau kusta yang merupakan pindahan dari Angke. Karena itulah, pulau ini sempat dinamakan Pulau Sakit.

Saat bersamaan, Belanda mendirikan benteng pengawas. Benteng yang dibangun ini lebih berfungsi sebagai sarana pengawasan untuk melakukan pertahanan dari serangan musuh. Sebelum pulau ini diduduki oleh Belanda, orang Ambon dan Belanda pernah tinggal di pulau ini.

Sekitar tahun 1800, armada laut Britania Raya menyerang pulau ini dan menghancurkan bangunan di atas pulau ini. Sekitar tahun 1803 Belanda yang kembali menguasai Pulau Bidadari dan membangunnya kembali. Akan tetapi Britania kembali menyerang tahun 1806, Pulau Onrust dan Pulau Bidadari serta pulau lainnya hancur berantakan. Tahun 1827 pulau ini kembali dibangun oleh Belanda dengan melibatkan pekerja orang Tionghoa dan tahanan. Bangunan yang dibangun adalah asrama haji yang berfungsi hingga tahun 1933.

Pulau ini sebelum menjadi resor sempat kosong dan tidak berpenghuni sampai dengan tahun 1970. Bahkan pulau ini tidak pernah dikunjungi orang. Pada awal tahun 1970-an, PT Seabreez mengelola pulau ini untuk dijadikan sebagai resor wisata.

Semenjak tahun 1970 ini, untuk menarik pengunjung, pulau ini berganti nama menjadi Pulau Bidadari. Alasan pengambilan nama menjadi Pulau Bidadari diilhami dari nama pulau lainnya di Kepulauan Seribu seperti Pulau Putri, Pulau Nirwana, dan lainnya.


Read More »

0 komentar
Pada tahun 1627 di Banten sedang terjadi Perang Batu antara penduduk Banten dan Pasukan Belanda, seorang alim ulama yang sangat sakti yakni Tubagus Zen dari Pucuk Umun, beliau adalah keturunan dari Keluarga Kerajaan Padjajaran yang menyerahkan diri untuk kemudian masuk Islam. Tubagus Zen adalah orang pertama yang tercatat menduduki Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Karya. Beberapa saat setelah itu juga datang beberapa orang sakti diantaranya adalah Tubagus K.H. Rama, Tubagus Maemunah dan Tubagus Sri Mulyati yang beresal dari tanah Banten. Sampai pada akhir hayatnya, Tubagus Zen dimakamkan di sebelah timur Pulau Karya, K.H Rama menghilang ketika beliau sedang bertapa di Pulau Pramuka sementara Rtubagus Maemunah dan Tubagus Sri Mulyati dimakamkan di Pulau Pramuka (sekarang menjadi Kantor Kabupaten Administrasi kepulauan Seribu).

Para pedagang kain mulai datang ke Pulau Karya, Pulau Panggang dan Pulau Pramuka pada abad ke-17 salah satunya yang terkenal berasal dari Suku Mandar, Sulawesi yaitu Sri Ayu Dewi dengan nama julukan Darah Putih. Dengan mengendarai Perahu Layar orang Aceh yang dinahkodai oleh Saudin, beliau dihadang oleh sekelompok pasukan perompak (bajak laut) yang berasal dari Kuala sungsang, Palembang. Perahu layar beliau sempat dikejar oleh para gerombolan Bajak Laut tersebut namun dengan kesaktiannya dan Izin Allah SWT perahu tersebut dapat tidak terlihat hingga sampai ke tepian Pulau Panggang dengan selamat. Saat beliau tiba di Pulau Panggang seketika itu juga Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Karya tidak terlihat oleh para Bajak Laut seakan-akan tidak ada Pulau-pulau di penglihatan para perompak kemudian mereka berbalik arah berlayar ke parairan karang balik layar depan Pulau Semak Daun. Akhirnya setelah sekian lama Sri Ayu Dewi meninggal dan dimakamkan di tepian pantai dataran tinggi di Pulau Pramuka. Pada saat beliau meninggal keluarlah tetesan darah yang amat harum dari salah satu pori-pori beliau dengan darah yang berwarna putih menandakan bahwa beliau adalah orang sakti.

Pada masa tersebut juga di tahun 1530 ada kisah nyata di perairan tengah laut Pulau Pramuka dan Pulau Panggang ada sepasang pengantin yang akan mengambil air minum menuju Pulau Pramuka, perbuatan kedua pengantin ini ternyata melanggar adat leluhur, yaitu berpergian sebelum 40 hari akad pernikahan mereka. Ditengan-tengah perjalanan kemudian Perahu tersebut terbalik dan kedua pengantin itupun tenggelam sambil memelik kendi air. Pengantin dan kendinya akhirnya berubah menjadi batu karang yang dinamakan sekarang Karang Langka-langka.

Pada zaman penjajahan Belanda di Tahun 1527 kawasan perairan Kepulauan Seribu khususnya di Pulau Cina, merupakan salah satu tempat transit para pedagang cina, seringkali gerombolan perompak yang berasal dari keturunan Seka yang datang ke Pulau Cina untuk merampok harta dan membunuh para pedagangnya. Para pedagang tersebut dibunuh dengan cara memanggang mereka di Karang Pemanggang dan dimakan bersama-sama. Saat itu juga para pendekar sakti bermunajat untuk keselamatan Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Karya dan beberapa saat kemudian Pulau Pramuka, Pulau Panggang dan Pulau Karya kembali tidak terlihat oleh para bajak laut. Kemudian ketika sedang mencari-cari Pulau tersebut Pasukan Bajak Laut dari Suku Seka ini terdampar di karang lebar sampai perbekalan konsumsi mereka habis dan kelaparan, pada akhirnya pimpinan bajak laut tersebut memakan daging temannya sendiri dengan cara di panggang dan baru kemudian dimakan dengan lahapnya.

Read More »

Pulau Untung Jawa merupakan pulau kecil di gugusan kepulauan seribu yang dekat dengan pulau Bidadari. dari Jakarta bisa ditempuh dengan waktu satu – 90 menit perjalanan, kapal penyeberangan dapat dari muara Angke atau dari Tanjung Pasir (tangerang), dari rute tanjung pasir – pulau untung jawa dapat ditempuh hanya 15 – 20 menit perjalanan, kemudahan ini yang menjadikan pulau Untung Jawa menjadi pilihan untuk berlibur bagi turis lokal / backpacker.

Pulau Untung Jawa diusianya sang cukup tua, (sekitar 6 generasi), pulau Untung Jawa menyimpan “sekelumit sejarah” seputar pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang. Saat Indonesia dikuasai Oleh Hindia Belanda , ternyata pulau-pulau di wilayah kelurahan Untung Jawa sudah dikuasai oleh pribumi yang berasal dari pulau Jawa.

Sejak tahun 1920-an wilayah Untung Jawa dipimpin oleh seseorang ‘Bek‘  atau setingkat Lurah, Bek ini berdomisili di Pulau Kherkof ( sekarang Pulau Kelor)

Di penguasaan kolonial Belanda, pulau dikepulauan seribu diberi nama yang berbau Belanda, kemudian pasca kemerdekaan RI nama nama tersebut diubah, beberapa nama pulau yang diganti adalah sebagai berikut :
  • Pulau Amiterdam menjadi Pulau Untung Jawa.
  • Pulau Middbur menjadi Pulau Rambut (suaka margasatwa).
  • Pulau Rotterdam menjadi Pulau Ubi Besar.
  • Pulau Sehiedam menjadi Pulau Ubi Kecil.
  • Pulau Purmerend menjadi Pulau Sakit diubah kembali menjadi Pulau Bidadari.
  • Pulau Kherkof menjadi Pulau Kelor.
  • Pulau Kuiper menjadi Pulau Cipir/Khayangan.
  • Pulau Sibuk menjadi Pulau Onrust.
Pindah
Sekitar tahun 1930-an, karena kondisi daratan pulau yang Abrasi dimakan air laut, Bek Marah (nama Lurah tersebut) menganjurkan rakyatnya yang tinggal di Pulau Kherkof untuk pindah ke Pulau Amiterdam (Untung Jawa).

Perjalanan dengan kapal layar sampailah di Pulau Amiterdam, dan penduduk asli pulau menerima dengan tangan terbuka . Nama asli penduduk Amiterdam tersebut antara lain Cule, Kemple, Deharman, Derahim, Selihun, Sa’adi, Saemin dll, mereka menganjurkan agar segera memilih lahan untuk langsung ‘digarap’. Akhirnya Pulau Amiterdam berganti nama menjadi “Pulau Untung Jawa” yang berarti keberuntungan bagi orang orang dari daratan pulau jawa saat itu.

Sumber : sejarahpulauuntungjawa.blogspot.com

Read More »





Pulau Untung Jawa - Dahulu kala saat penjajahan Kolonial Belanda merebut Nusantara, tersebutlah sebuah pulau dari gugusan pulau-pulau kecil di pesisir Batavia tepatnya di sebelah utara Pelabuhan Sunda Kelapa. Pulau Amiterdam namanya sebelum berganti nama menjadi Pulau Untung Jawa. Pulau ini oleh Bangsa Belanda dijadikan sebagai salah satu pulau tempat penyimpanan barang-barang, seperti : bekas tank baja, kayu-kayu balok hasil olahan dan produksi dari Pulau Kapal (Pulau Onrust) dan lain-lain.

Namun ketika Pemerintahan Belanda telah berakhir dan beralih pada Pemerintahan Nippon-Jepang, pulau Amiterdam sudah tidak berpenghuni lagi dan kegiatan bagi manusia sudah tidak terlihat lagi. Yang tersisa hanya bekas rel lori pengangkut barang serta barang-barang rongsokan bekas bangunan berserakan di sana-sini.
Tidak disangka, rupanya pulau kosong peninggalan Belanda tersebut sudah berganti penghuni yaitu berkumpulnya sekelompok kera sebangsa monyet berbuntut panjang. Entah dari mana datangnya monyet-monyet tersebut.

Cukup lama bangsa monyet itu bersemayam di Pulau Amiterdam. Hingga pada saat detik-detik kemerdekaan pun masih berkeliaran. Dari sekian banyak monyet-monyet di pulau itu ada satu monyet yang lain tingkah dan perilakunya. Warna bulunya putih bersih mengkilat, sorot matanya tajam berwarna merah dan di kepalanya terikat sehelai kain berwarna biru laut tak ubahnya seperti seorang pendekar. Konon katanya monyet putih itu adalah pemimpin dari sekelompok monyet-monyet yang berada di pulau tersebut.

Menurut berbagai sumber dari orang-orang terdahulu, selama kurang lebih 2,5 tahun Pulau Amiterdam dikuasai oleh sebuah kerajaan monyet yang dipimpin oleh seekor monyet putih. Sehingga selama berkuasanya monyet putih, tak seorangpun yang berani datang ke sana. Sehingga Raja Bajak Laut pun yang bernama Bajul Kerok beserta puluhan pengikutnya yang paling ditakuti masyarakat pulau di pesisir Batavia mati di pulau itu.

Anehnya sekitar tahun 46-an, monyet putih sudah tidak ada hanya tinggal monyet-monyet biasa yang masih ada. Sehingga orang-orang dari Tanah Jawa mulai berani untuk menetap di sana. Banyak masyarakat yang mempertanyakan keberadaan monyet putih. Sudah matikah…? Namun kira-kira mayatnya kemana…? Pindah tempatkah…? Tapi, bisakah menyeberangi lautan…?

Sungguh keanehan yang tak habis terpikir oleh akal manusia. Awal keberadaannya tidak tahu berasal dari mana. Perginya pun tidak ketahuan bekas-bekasnya. Mayatnya monyet putih tidak ada yang mengetahui, hilangnya para pengikut monyet putih pun tidak ketahuan mati atau perginya. Entah kemana…?

Read More »


Ini Alasan Nama Lokasi Wisata Pantai Pasir PerawanKepulauan Seribu merupakan daerah yang terkenal dengan pariwisatanya. Di sana, wisatawan dimanjakan dengan pemandangan alam dan berbagai fasilitas rekereasi berlibur, antara lain wisata air. Laut yang biru serta pulau-pulau kecil yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Seribu itu sendiri ibarat 'magnet' bagi siapa saja untuk mengunjunginya.

Salah satu yang mungkin anda tidak boleh lewatkan adalah sebuah pantai wisata yang dinamakan Pantai Pasir Perawan, di Kelurahan Pulau Pari. Kompas.com yang turut serta bersama rombongan awak media serta pejabat Kabupaten Kepulauan Seribu pun diajak untuk menengok Pantai Pasir Perawan itu.

Setelah turun dari speed boat, rombongan menelusuri jalan di permukiman warga. Jumlah penduduk di pulau ini terdiri dari sekitar 900 jiwa dan 265 KK. Jalan berukuran sekitar 1,5 meter, dan diapit kiri dan kanannya oleh rumah warga itu ibarat menikmati suasana tenang yang jauh dari hiruk pikuk sibuknya pusat Kota Jakarta. Hanya terdapat satu RW dan empat RT pada lokasi itu.

Setelah berkalan tidak begitu jauh, rombongan memasuki lokasi Pantai Pasir Perawan, di kiri dan kanan ada rerumputan ilalang yang kemudian disambut sebuah 'gapura' kecil beratap daun kelapa bertuliskan "Selamat Datang di Pantai Pasir Perawan Pulau Pari". Dari namanya yang unik, pantai tersebut sengaja dinamakan demikian karena memang baru dibuka untuk wisata belum lama ini yakni diakhir tahun 2010. Sehingga pemandangan alam serta pesisir pantai yang putih dengan air laut yang jernih itu masih jauh tersentuh dunia luar.

"(Kenapa) dibilang (pantai pasir) 'perawan' ya karena pada dasarnya baru di buka sekitar akhir 2010," kata Fatoni (43), ketua Forum Pemuda Wisata Pesisir (Forsir) yang menyambut kedatangan rombongan, kepada wartawan, Sabtu (10/11/2012) siang.

Di dekat pantai, terdapat beberapa saung yang menjualkan minuman dan makanan. Saung-saung yang didirikan sederhana itu terbuat dari kayu beratapkan daun kering. "Saung-saung buat warung ada enam, saung kecil-kecilnya ada empat. Dikelola sama warga setempat. Ini kan swadaya masyarakat, kami sama-sama kerja makanya dibentuk Forsir itu," kata Fatoni.

Fatoni mengatakan, di Pulau Pari sendiri terdapat 12 pulau yang mengitarinya, yang merupakan wilayah Kelurahan Pulau Pari. Sembilan pulau di Pulau Pari, dan tiga pulau di Pulau Lancang. Ada beberapa fasilitas yang ditawarkan seperti snorkling, berkeliling dengan perahu nelayan sewaan untuk melihat pohon bakau yang tumbuh di sekitar bibir pantai.

Selain itu juga ada jasa penyewaan sepeda untuk bebas berkeliling pulau seharian hanya dengan biaya Rp 20.000 saja. Berkat wisatawan yang datang, warga sekitar bisa memperoleh penghasilan dari berusaha di lokasi itu.

"Di sini ada rumah warga dengan sistem sewa (home stay). Wisatawan bisa menyewa dengan membayar Rp 350.000 untuk yang non-AC semalaman, dan Rp 600.000 untuk yang ber-AC dengan TV semalaman. Jadi ada banyak kamar, bermalamnya sama yang punya rumah cuma beda kamar," ujar Fatoni.

Untuk snorkling Rp 35.000, jika berikut sewa perahu yang muat 10 orang, tarifnya Rp 400.000. Banana boat Rp 35.000, dan sepeda Rp 20.000 seharian dengan trek sepeda terserah mau kemana. Khusus untuk turis asing umumnya ada guidenya. Makanya setiap home stay ada pemandunya.

Saking banyaknya, Fatoni mengatakan, pihaknya kadang sampai kewalahan kerena jumlah pengunjung yang datang sangat banyak. Bulan lalu sampai 4.000 orang lebih, karena pas ramai-ramainya. Dalam seminggu biasanya sampai 800 orang lebih.

Masalahnya, kadang-kadang kekurangan home stay, jadi mereka kekurangan rumah, karena permintaannya banyak. Untuk fasilitas listrik dan air tanah diakui Fatoni, sudah memadai. Keamanan pengunjung yang berniat bermalam pun terjamin. Selain itu, pengunjung tak perlu bingung soal makanan karena ada fasilitas catering yang disediakan warga.

Diakhir pekan biasanya merupakan saat-saat ramai pengunjung yang menikmati suasa pantai dengan kualitas dan keasriannya. Sejauh mata memandang, pantai dengan pasir putih membentang indah dengan air laut yang tenang tanpa gelombang. Ini menambah keunikan tempat tersebut.Pada bagian pinggir, kedalamannya pun tak begitu dalam, sehingga masih tampak bagian dasar laut dengan airnya yang jernih. Beberapa pulau kecil menghias di depan mata. Sejumlah kumpulan pohon bakau pun nampak di pinggir pulau. Untuk anda yang ingin menikmati liburan santai, dapat mencoba wisata di Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. 
 
Sumber : kompas.com

Read More »

Pulau Kelapa merupakan salah satu pulau terpadat di wilayah Kepulauan Seribu. Menurut cerita asal mula dinamakan Pulau Kelapa karena dahulunya pulau tersebut banyak di tumbuhi pohon Kelapa. Penduduk yang menghuni Pulau Kelapa sangat heterogen, dapat dikatakan hampir sebagian suku yang ada di Indonesia tinggal di Pulau Kelapa walaupun jumlahnya sangat sedikit.

Penduduk yang menghuni Pulau Kelapa ini di dominasi oleh orang-orang Betawi, Banten, Bugis Jawa, Sumatera dan daerah lainnya. Menurut cerita masyarakat setempat banyak hal yang menyebabkan suku dari daerah tersebut menetap di Pulau Kelapa, contohnya kejadiannya pada jaman dahulu bila para pelaut yang melintasi perairan Kepulauan Seribu dengan tujuan ke Pelabuhan Sunda Kelapa mengalami kecelakaan dalam berlayar. Kapal yang mereka tumpangi tenggelam dan mereka pun tidak bisa meneruskan perjalanan, mereka ditolong oleh penduduk setempat. Karena kapal mereka tidak bisa meneruskan perjalanan, akhirnya mereka menetap di pulau tersebut dan dalam perjalanan waktu terjadi perkawinan dengan penduduk setempat. Selain peristiwa tersebut banyak hal yang menyebabkan banyaknya suku bangsa yang menetap di Pulau Kelapa.

Dermaga P. Kelapa di sebelah barat

Menurut Tim Peneliti Dinas Museum dan Sejarah, bagian geografi dan perkembangan kota tua tahun 1970, menyebutkan tentang ditemukannya makam-makam tua dengan batu nisan yang terbuat dari batu karang. Salah satunya terdapat di depan Puskesmas Pulau Kelapa. Selain itu juga di tepi pantai selatan Pulau Kelapa di temukan dua buah meriam kuno yang dibuat pada tahun 1700.

Pada masa lalu Kelapa dengan Pulau Harapan terpisah. Kemudian sekitar tahun 1950-an, dibangun jalan yang menghubungkan antara kedua Pulau tersebut dengan panjang sekitar 200 meter. Tujuan pembangunan jalan tersebut adalah untuk mempermudah akses transportasi karena pada saat itu telah terjadi migrasi masyarakat Pulau Kelapa ke Pulau Harapan dikarenakan penduduk Pulau Kelapa yang cukup padat. Sedangkan pada masa kini intensitas pendatang ke pulau ini cukup tinggi dan menyebabkan Pulau Kelapa sebagai pulau paling banyak penduduknya di Kepulauan Seribu.

Mata pencaharian penduduk Pulau Kelapa sebagian besar adalah nelayan, transportasi laut didominasi kapal ojek dengan tujuan yang bermacam-macam seperti Muara Angke, Mauk, Kronjo sedangkan dengan tujuan Marina Ancol menggunakan Kapal Kerapu.

 


 

Read More »

Disebelah utara Jakarta terdapat gugusan kepulauan yang terdiri dari 108 pulau kecil, disebut Kepulauan Seribu. Satu diantaranya adalah Pulau Panggang, sekitar 60 km disebelah utara kota Jakarta. Pulau seluas 0,9 hektare itu bisa dicapai dalam waktu kurang lebih tiga jam dengan perahu motor dari pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.

Disanalah Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid, yang juga dikenal sebagai Wali keramat Pulang Panggang. Ia adalah ulama dan muballigh asal Hadramaut yang pertama kali menyebarkan Islam di Pulang Panggang dan sekitarnya. Pada abad ke-18 ia bertandang ke Jawa untuk berda’wah bersama dengan empat kawannya :

1. Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-athas, Kramat Empang Bogor.
2. Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Bondowoso, Surabaya.
3. Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Ampel, Surabaya.
4. Al-Habib Salim Al-Athas, Malaysia.

Al-Maghfurlah Habib Ali ke Batavia, sementara keempat kawannya masing-masing menyebar ke kota-kota dan negeri diatas. Al-Maghfurlah berda’wah dari Pulau Seribu sampai dengan Wilayah Pulau Sumatera yaitu Palembang.

Di Batavia , Almaghfurlah Habib Ali bermukim di Kebon Jeruk dan menikah dengan Syarifah setempat, Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin Ja’far Al-Habsyi. Dari Perkawinannya itu dikaruniai seorang putera bernama Hasyim bin Ali Aidid.

Suatu hari Almaghfurlah mendengar kabar, disebelah utara Jakarta ada sebuah pulau yang rawan perampokan dan jauh dari da’wah Islam, yaitu Pulau Panggang. Beberapa waktu kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut. Ketika Al-Maghfurlah sampai di Pasar Ikan hendak menyeberang ternyata tidak ada perahu. Maka ia pun bertafakur dan berdo’a kepada Allah SWT, tak lama kemudian muncullah kurang lebih seribu ekor ikan lumba-lumba menghampirinya. Ia lalu menggelar sajadah di atas punggung lumba-lumba tersebut, kemudian ikan lumba-lumba mengiring beliau menuju Pulang Panggang. Demikianlah salah satu karomah Almaghfurlah Habib Ali, menurut cerita dari Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-athas kepada salah satu muridnya Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Alhaddad bahwa setiap Habib Ali hendak berda’wah beliau berdiri ditepi pantai Pasar Ikan dengan mengangkat tangan sambil bermunajat kepada Allah SWT, maka datang ikan lumba-lumba kurang lebih seribu ekor mengiring beliau disamping kanan, kiri, depan, belakang beliau dan mengantar sampai ketempat tujuan untuk berda’wah.

Sosoknya sangat sederhana, cinta kebersamaan, mencintai fakir miskin dan anak yatim. Bisa dimaklumi jika da’wahnya mudah diterima oleh warga Pulau Panggang dan sekitarnya. Ia mengajar dan berda’wah sampai kepelosok pulau. Bahkan sampai ke Palembang, Singapura dan Malaka.

Karomah lainnya, suatu malam, usai berda’wah di Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, ia pulang ke Pulau Panggang. Di tengah laut, perahunya dihadang gerombolan perompak. Tapi, dengan tenang Almaghfurlah Habib Ali melemparkan sepotong kayu kecil ke tengah laut. Ajaib, kayu itu berubah menjadi karang, dan perahu-perahu perompak itu tersangkut di karang. Maka, berkat pertolongan Allah SWT itu, Almaghfurlah Habib Ali dan rombongan selamat sampai di rumahnya di Pulau Panggang.

Suatu hari, warga Pulau Panggang diangkut ke Batavia dengan sebuah kapal Belanda, konon untuk dieksekusi. Beberapa perahu kecil berisi penduduk ditarik dengan rantai besi ke arah kapal Belanda yang membuang sauh jauh dari pantai. Mendengar kabar itu, Almaghfurlah Habib Ali menangis, lantas berdo’a agar seluruh penduduk Pulau Panggang diselamatkan . Do’anya dikabulkan oleh Allah SWT. Rantai besi yang digunakan untuk menarik perahu berisi penduduk itu tiba-tiba putus, sehingga Belanda urung membawa penduduk ke Batavia.

Suatu malam, ia mendapat isyarat sebentar lagi ia akan wafat. Ketika itu sebenarnya ia ingin ke Palembang, namun dibatalkan. Dan kepada santrinya ia menyatakan, “ saya tidak jadi ke Palembang.” Benar apa yang ia katakan, keesokan harinya, 20 Zulkaidah 1312 H./1892 M. ia wafat, dan dimakamkan di sebuah kawasan di ujung timur Pulau Panggang.

Sesungguhnya, Jenazah almarhum akan dibawa ke Batavia untuk diketemukan Istri dan anaknya serta dimakamkan disana. Namun, ketika jenazah sudah berada di atas perahu yang sudah berlayar beberapa saat, tiba-tiba tiang layar perahu patah dan perahu terbawa arus kembali ke Pulau Panggang. Hal ini terjadi berturut-turut sampai tiga kali. Akhirnya, penduduk kampung memaknai peristiwa itu sebagai kehendak almarhum di makamkan di Pulau tersebut. Keesokan harinya setelah Almaghfurlah Habib Ali dimakamkan, beberapa orang dari penduduk Pulau Panggang memberi khabar kepada istrinya Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin Ja’far Al-Habsyi, istrinya menjawab “ Yah, saya sudah tahu, Habib Ali tadi telah datang memberi kabar kepada saya tentang meninggalnya dia dan dimakamkan di Pulau Panggang “.

Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid adalah seorang ulama yang langka, yang berani merintis da’wah di kawasan terpencil, dan berhasil. Demikianlah sekilas dari riwayat Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid.

Read More »

Menyingkap Sejarah Pulau Tidung dan Makam Raja Pandita
KEPULAUAN SERIBU - Pulau Tidung tak hanya memiliki keindahan akan alamnya, namun memiliki latar sejarah. Ternyata disana terdapat sebuah makam Raja Pandita yang dahulu diasingkan kolonial Belanda.

Pada masa penjajahan Belanda, Pulau Tidung dijadikan tempat pengasingan bagi siapa saja yang membangkang kepada pemerintahan kolonial. Muhammad Kaca adalah salah satunya. Nama Tidung pun ia namakan sesuai dengan sukunya di Kalimantan Timur, yaitu suku Tidung. Sebelumnya, bernama pulau Air Besar.

Muhammad Kaca lahir pada tahun 1817, dia berasal dari daerah Malinau, Kalimantan Timur. Nama aslinya adalah Muhammad Sapu. "Muhammad Kaca adalah nama samarannya saat diasingkan ke pulau Tidung oleh kolonial Belanda," kata Edy Rukhiyat yang merupakan generasi ke empat dari Muhammad Kaca, Minggu (12/2).

Dia adalah tokoh penentang imprialisme Belanda pada masanya, hingga kemudian diasingkan pada tahun 1892 di pulau Tidung dan wafat pada tahun 1898. Ia pun dimakamnya di sebelah barat pulau Tidung.

Selanjutnya, suku Tidung yang berada di Malinau, Kalimantan Timur mengetahui kalau di Kepulauan Seribu ada sebuah pulau yang dinamai pulau Tidung. Kemudian, beberapa orang dari suku Tidung mendatangi dan mencari asal-usul alasan pulau tersebut diberi nama pulau Tidung. Dengan harapan menemukan keterkaitan dengan sukunya, serta mencari makam Raja Tidung, yaitu Raja Pandita,  yang tidak diketahui keberadaan makamnya.

Pada bulan Februari 2011, ditemukanlah makam yang diyakini lokasi Raja Pandita dikebumikan, yang tak lain Muhammad Kaca. Ternyata, Muhammad Kaca adalah Raja Pandita, seorang raja dari kerajaan Tidung yang berada di Malinau, Kalimantan Timur yang pernah diasingkan.

"Waktu itu, penemuan makam Raja Pandita sempat menghebohkan seluruh masyarakat pulau Tidung," ujar Edy.

Pemindahan makam dimulai dengan menggali makam Raja Pandita beserta makam istrinya, Thea dan anaknya Hamidun. Prosesi pemindahan makam menggunakan adat dan tradisi suku Tidung, kerangka ketiganya dipindahkan ke lahan pemakaman baru yang berbentuk bangunan seluas 9x25 meter persegi di lahan TPU Pulau Tidung.

Pada tanggal 3 Juli 2011, Bupati Kepulauan Seribu, Achmad Ludfi dan Bupati Malinau, Yansen TP meresmikan komplek pemakaman Raja Pandita, Muhammad Kaca sebagai cagar budaya, sebuah bukti sejarah yang harus dijaga.

Sumber : himpalaunas.com 

Read More »

salah satu benteng peninggalan Belanda di Pulau Bidadari (Kep. Seribu)
Mendengar nama Pulau Seribu, pasti di benak kita akan terlintas bayangan akan sebuah tempat yang eksotis, indah dan merupakan salah satu wilayah yg tepat untuk para pelancong, baik dalam maupun luar negeri.

Benak seperti itu memang tidak salah. Gugusan Kepulauan Seribu memang suatu tempat yang amat eksotis dan sangat strategis untuk menenangkan diri dari kebisingan dan kesibukan Ibu Kota Jakarta. Tempat yang pas untuk me-refresh pikiran yang sehari-hari “dipermainkan” oleh hiruk pikuknya ibu kota. Namun, bila kita kembali pada sekitar 3 abad yang lalu, benak kita akan indahnya Pulau Seribu pasti akan sirna, apalagi untuk berpelesir kesana. Berikut sekilas mengenai sejarah dan asal-usul Pulau Seribu yang dirangkum dari berbagai sumber.

Pada abad ke-17, pulau ini merupakan penunjang aktivitas Pulau Onrust karena letaknya yang tidak berjauhan dengannya. Karena menjadi penunjang, di pulau ini dibangun pula sarana-sarana penunjang. Pada tahun 1679, VOC membangun sebuah rumah sakit lepra atau kusta yang merupakan pindahan dari Angke. Karena itulah, pulau ini sempat dinamakan Pulau Sakit.

Saat bersamaan, Belanda mendirikan benteng pengawas. Benteng yang dibangun ini lebih berfungsi sebagai sarana pengawasan untuk melakukan pertahanan dari serangan musuh. Sebelum pulau ini diduduki oleh Belanda, orang Ambon dan Belanda pernah tinggal di pulau ini.

Sekitar tahun 1800, armada laut Britania Raya menyerang pulau ini dan menghancurkan bangunan di atas pulau ini. Sekitar tahun 1803 Belanda yang kembali menguasai Pulau Bidadari dan membangunnya kembali. Akan tetapi Britania kembali menyerang tahun 1806, Pulau Onrust dan Pulau Bidadari serta pulau lainnya hancur berantakan. Tahun 1827 pulau ini kembali dibangun oleh Belanda dengan melibatkan pekerja orang Tionghoa dan tahanan. Bangunan yang dibangun adalah asrama haji yang berfungsi hingga tahun 1933.

Pulau ini sebelum menjadi resor sempat kosong dan tidak berpenghuni sampai dengan tahun 1970. Bahkan pulau ini tidak pernah dikunjungi orang. Pada awal tahun 1970-an, PT Seabreez mengelola pulau ini untuk dijadikan sebagai resor wisata.

Pada kawasan Pulau Seribu terdapat Taman Nasional yang diberi nama Taman Nasional Pulau Seribu yang mencakup 44 pulau di dalamnya dengan luas sekitar 110 Ha. Kawasan taman nasional ini mempunyai nilai konservasi tinggi karena keanekaragaman jenis dan ekosistem yang dimiliki. Program pelestarian taman nasional salah satunya adalah penangkaran penyu sisik (eretmochelys imbricata), hutan mangrove dan padang lamun di Pulau Pramuka. Pembudidayaan ikan hias banyak dilakukan di Pulau Panggang.

Wilayah konservasi lainnya adalah Pulau Rambut yang menjadi habitat bagi burung-burung asli Pulau Seribu termasuk Elang Bondol yang menjadi mascot kota Jakarta. Pulau Bokor adalah kawasan konservasi bagi kelestarian terumbu karang, mollusca dan aneka jenis biota laut yang eksotis.

Pulau Khayangan, Pulau Onrust dan Pulau Kelor memiliki banyak situs bersejarah. Di Pulau Khayangan terdapat sisa bangunan benteng lengkap dengan meriam peningggalan Belanda. Pulau Onrust dahulu merupakan galangan kapal VOC dan terdapat sisa-sisa bangunan karantina haji, sedangkan di Pulau Kelor terdapat benteng Martello yang pada masa penjajahan Belanda merupakan benteng pertahanan bagi wilayah perairan teluk Jakarta.

Sumber : mustaqimzone 

Read More »

Pulau Onrust dari Masa ke masa

Tahun 1610, Jan Pieterszoon Coen minta restu Pangeran Jayakarta untuk membangun dok kapal disalah satu pulau di teluk Jakarta untuk perbaikan kapal yang akan digunakan untuk berlayar ke Asia terutama ke Asia tenggara, permintaan ini disetujui oleh Pangeran Jayakarta dengan memberikan ijin pemakaian di Pulau Onrust, pulau seluas 12 hektar yang berjarak 14 kilometer dari Jakarta.

Benteng Pertahanan Belanda di Pulau Onrust Pulau Seribu

Benteng yang ada di Pulau Onrust Pulau Seribu
courtesy jakarta.go.id
Onrust Tahun 1615

VOC mulai membangun dok perbaikan kapal dan gudang di pulau Onrust.  Jan Pieterszoon Coen pelan- pelan sudah berencana membangun perdagangan dan militer untuk melawan Banten dan Inggris.
Onrust Tahun 1656
mulai membangun benteng pertahanan kecil yang berbentuk persegi panjang dengan dua menara pengawas, dan tahun 1671 benteng pertahanan ini diperbesar, benteng berbentuk simetris  pentagonal dengan menara pengawas disetiap sudutnya.  Konstruksi benteng dengan dinding tebal yang terbuat dari bata merah dan batu karang.
Onrust Tahun 1674

Tahun 1674 Benteng ini ditambah dengan beberapa bangunan gudang .
Onrust Tahun 1795

Tahun 1795 Posisi Belanda di Batavia kurang kuat akibat perang eropah dan tahun 1800 angkatan laut Inggris yang dipimpin oleh Kapten Henry Lidgbird Balls dengan kapal HMS Daedalus, HMS Sybille, HMS Centurion dan HMS Brave masuk ke Batavia dan benteng pertahanan pulau Onrust dihancurkan.
Onrust Tahun 1848

Pulau Onrust diperhatikan kembali oleh Gubernur Jenderal GA Baron Van Der Capellen di tahun 1827, dan aktivitas di pulau Onrust kembali normal di tahun 1848.
Onrust Tahun 1911-1933

Tahun 1911-1933 pulau Onrust dan pulau Cipir menjadi karantina Haji, barak haji berjumlah 35 unit untuk kapasitas masing – masing 100 orang, jadi total dapat menampung 3500 orang.  Dibangun di tahun 1911. Karantina haji ini adalah bagian dari politik Islam dari kolonial Belanda, karena takut akan kekompakan umat Islam, pemerintah kolonial Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin berangkat haji maupun setelah pulang haji di maksud agar melalui karantina haji ini kolonial Belanda mudah mengkontrol, dan merupakan taktik Belanda.  Pulau Cipir tetangga dari pulau Onrust yang dihubungkan dengan jembatan ini masih terlihat sisa-sisa karantina haji walaupun sudah tidak utuh lagi, karantina haji ini mirip dengan penjara atau kamp konsentrasi.  Bangunan karantina seperti rumah sakit dan bark terbagi di pulau Onrust dan pulau Cipir, dengan pusat karantina di pulau Onrust, jemaah diwajibkan ikut karantina selama 5 hari.
Onrust Tahun 1933-1940

Tahun 1933 – 1940  pulau Seribu ini kembali digunakan Belanda untuk tahanan pembrontak yang terlibat insiden Tujuh Kapal “Zeven Provicien“.  Di tahun 1940 pulau ini digunakan Belanda untuk menahan Jerman seperti Steinfurt yang merupakan kepala adminstrativ Pulau Onrust.  Setelah jepang menyerbu Indonesia tahun 1942 peran pulau ini mulai menurun hanya digunakan sebagai penjara bagi penjahat dengan kejahatan serius.

Pulau Onrust Pulau Seribu setelah Kemerdekaan

Saat setelah kemerdekaan, pulau Onrust dijadikan karantina bagi penderita penyakit lepra dibawah kendali Departemen kesehatan Indonesia, hal ini sampai tahun 1960, kemudian karantina penyakit Lepra dipindah ke Tanjung priuk.
Chris Soumokil pendiri Republik Maluku Selatan ditangkap dan ditahan di pulau Onrust dan di eksekusi pada tanggal 21 April 1966 atas perintah presiden Soeharto.
On this date in 1966, an Indonesian firing squad on the island of Obira (or Obi) shot Chris Soumokil (the link is to his Dutch wikipedia page) for having styled himself the president of the Republic of the South Moluccas.
Soumokil was captured in December 1962 and imprisoned; he was executed* just a month after the Indonesian government was seized by Suharto, on a programme of putting disorder to the sword.
Onrust Tahun 1972

Tahun 1972 gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menyatakan pulau Onrust sebagai situs sejarah yang dilindungi.
Onrust Tahun 2002

Tahun 2002, pemerintah menyatakan pulau Onrust dan 3 pulau lain didekatnya (pulau Cipir, pulau Kelor dan Pulau Bidadari) sebagai Taman Arkeologi untuk melindungi situs – situs reruntuhan yang terdapat dipulau dari jaman VOC Belanda.
 
Sumber : viva.co.id


Read More »



Pulau Panggang – Bukti-bukti sejarah di Pulau Panggang yang merupakan salah satu pulau yang masuk Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (Pemkab Kep Seribu), diyakini masyarakatnya sebagai saksi bisu bahwa Kelurahan Pulau Panggang memiliki sejarah panjang pemerintahan. Peninggalan yang masih tampak kokoh dan terpelihara adalah gedung bertipe jaman kolonial yang kini dijadikan kantor Kelurahan Pulau Panggang. Meskipun sudah mengalami renovasi, keaslian gedung yang diperkirakan dibangun pada tahun 1618 ini tetap dipertahankan hingga kini.

Pulau Panggang sendiri ditetapkan sebagai kelurahan pada Agustus 1986, namun karena meningkatnya status Kep Seribu dari kecamatan menjadi kabupaten administrasi, Kelurahan Pulau Panggang disahkan kembali pada 27 Juli 2000 silam. Menempati area 62,10 hektar, Kelurahan Pulau Panggang kini dihuni sekitar 5.443 jiwa yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Keistimewaan lain dari Kelurahan Pulau Panggang adalah, terpusatnya Pemkab Kep Seribu yang berada di Pulau Pramuka yang menjadi bagian dari Kelurahan Pulau Panggang. Sedangkan di Pulau Karya terdapat Kantor Teknis Suku Dinas dan Seksie, serta Kantor Kepolisian Resort Kep Seribu.

Untuk menuju ke Kelurahan Pulau Panggang tak sulit, karena disediakan transportasi laut dari Marine Jaya Ancol (MJA) dan Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Di MJA, disediakan transportasi berupa speedboat sehingga waktu yang ditempuh lebih cepat sedangkan di Muara Angke terdapat ojek (sebutan kapal tradisional pengangkut penumpang, red) dengan tarif relatif terjangkau yang waktu tempuhnya lumayan panjang untuk jarak ke Pulau Panggang dari daratan Jakarta sejauh 74 kilometer.

Berdasarkan letak geografisnya, Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari gugusan 13 pulau yang peruntukannya dibagi menjadi empat, yang terdiri dua pulau pemukiman, dua pulau resort, dan satu pulau pemerintahan. Sedangkan sisanya, digunakan sebagai pulau perlindungan ekosistem seperti di Pulau Semak Daun yang terdapat pula program budidaya ikan Pemkab Keb Seribu yang dikelola oleh PKSPL-IPB. Untuk perairan dangkal di Pulau Karya, difungsikan menjadi tempat budidaya ikan bandeng laut yang dikelola PT Nusa Keramba.

Dalam menunjang pendidikan bagi anak-anak warga Pulau Panggang, terdapat empat Sekolah Dasar (SD), satu Sekolah Menengah Pertama (SMP), satu Sekolah Menegah Atas (SMA). Istimewanya lagi, SMA 69 Jakarta yang berlokasi di Pulau Pramuka merupakan SMA satu-satunya di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Tradisi yang melekat pada masyarakat Pulau Panggang tak lepas dari budaya Jakarta. Ini bisa dilihat dari keseharian masyarakatnya yang mengenakan sarung, kopiah, dan baju koko sebagai pakaian sehari-harinya jika tidak sedang melaut. Karena 80 persen budaya masyarakatnya menginduk pada budaya Jakarta, tak salah jika seluruh masyarakatnya menganut agama Islam.

Karena keunikan dan sejarahnya yang panjang, tak salah jika belakangan ini Kelurahan Pulau Panggang, khusus Pulau Pramuka menjadi tujuan wisata yang cukup diminati. Apalagi jika sedang hari libur, ratusan wisatawan domestik memadati sejumlah tempat bersejarah yang tetap dijaga keasliannya. (***)
 

Read More »

Menurut sejumlah warga yang masih menyimpan kisah unik di pulau ini menyebutkan, ihwal Pulau Kelapa tersebutlah dua saudara kembar berasal dari Mandar, Sulawesi Selatan yang terdampar di perairan Kepulauan Seribu. Dua saudara ini terpisah yang satu terdampar di gugusan pulau sebelah utara dan satunya lagi di sebelah selatan. Tahun berganti tahun, keduanya menikahi penduduk setempat dan beranak pinak hingga sekarang.



"Kita hanya mendapat cerita seperti itu, kenapa namanya Pulau Kelapa kisahnya telah putus dan tak ada satupun warga di sini yang mengetahuinya," ujar Bahram warga Pulau Kelapa. Dikatakannya, cerita si kembar yang diketahuinya hanya dari mulut ke mulut dan tidak ada bukti atau keturunan yang mengaku dari si kembar itu. "Konon katanya, kembar itu terpisah satu terdampar di pulau ini dan satunya di Pulau Tidung," kata Bahram lagi.



Menurut penuturan Bahram yang juga sorang tenaga pendidik ini, satu yang unik di sekitar Pulau Kelapa adalah Pulau Pamagaran yang saat ini masuk wilayah Kelurahan Pulau Harapan. Dia mengisahkan, nama pamagaran disandangkan di pulau milik anak penguasa orde baru itu berasal dari kata pagar. "Entah tahun berapa, sekelompok bajak laut akan merampok Pulau Kelapa, namun bajak laut itu tidak dapat sampai ke pantai lantaran seakan-akan di perahunya terbentur pagar di sekitar perairan pulau itu," katanya

Lalu hal yang unik lagi di pulau ini adalah tumbuhnya sebatang Pohon Kresek yang besar hingga berdiameter sekitar tiga meter di tempat pemakaman. Pohon itu dipercaya warga memiliki nuansa mistis hingga sampai saat ini berdiri kokoh. "Sebagian warga ada yang percaya kalau pohon itu ditunggui makhlus halus, karena disekitarnya terdapat makam zaman dulu," terangnya.

Sementara Madi M Dail, Wakil Lurah Pulau Kelapa yang juga kelahiran pulau tersebut menambahkan, keunikan di pulau ini adalah terdaptnya sejumlah sumur yang memiliki perbedaan dengan sumur-sumur lainnya. Misalnya, dia menyebutkan sumur yang dibuat oleh mahasiswa Universitas saat melakukan Kuliah Kerja Nyata sekita tahun 1991 lalu. Sumur itu tak pernah kering dan rasanya tetap tawar dan segar meski selalu diambil airnya. "Bahkan musim kemarau sumur yang lain kering, sumur itu tidak," ujarnya.

Lalu, sambung dia, sumur yang unik juga terdapat di rumah seorang warga di RW 03 Pulau Kelapa. Sumur itu juga tak pernah kering maupun berubah rasa padahal sumur tetangganya sudah berasa asin. "Allahu Alam, apa sebabnya sumur milik warga itu tetap tidak berubah padahal bentuknya sama dengan sumur milik tetangganya. Menurut kabar, dulunya sekitar rumah warga itu terdapat banyak pohon besar yang tumbuh, mungkin itu sebabnya air dari sumur itu tetap tawar," jelasnya.

Sesungguhnya masih banyak keunikan dan hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia di Pulau Kelapa, namun lemahnya sumber informasi sehingga penulis menemui kebuntuan untuk menggali lebih jauh kekayaan cerita dan kisah pulau dimana penulis dilahirkan ini. Tapi yang pasti dibalik keunikan yang ada, kondisi Pulau Kelapa kini tak pantas lagi dirayu seperti pada syair lagu "Rayuan Pulau kelapa" milik Ismail Marzuki.

Menurut hemat penulis, pulau ini telah mengalami degradasi yang akut. Lingkungan yang tak lagi tertata, kepadatan penduduk yang telah diambang batas, dan kesemerautan kehidupan masyarakatnya. Puluahan becak dan ratusan sepeda motor hilir mudik tak terkendali diatas jalan yang sempit dan rusak. Perlu kerja keras untuk mengembalikan keasrian Pulau Kelapa agar kembali dapat dirayu dan merayu.

Read More »




Menyingkap Sejarah Pulau Tidung dan Makam Raja Pandita
KEPULAUAN SERIBU - Pulau Tidung tak hanya memiliki keindahan akan alamnya, namun memiliki latar sejarah. Ternyata disana terdapat sebuah makam Raja Pandita yang dahulu diasingkan kolonial Belanda.

Pada masa penjajahan Belanda, Pulau Tidung dijadikan tempat pengasingan bagi siapa saja yang membangkang kepada pemerintahan kolonial. Muhammad Kaca adalah salah satunya. Nama Tidung pun ia namakan sesuai dengan sukunya di Kalimantan Timur, yaitu suku Tidung. Sebelumnya, bernama pulau Air Besar.

Muhammad Kaca lahir pada tahun 1817, dia berasal dari daerah Malinau, Kalimantan Timur. Nama aslinya adalah Muhammad Sapu. "Muhammad Kaca adalah nama samarannya saat diasingkan ke pulau Tidung oleh kolonial Belanda," kata Edy Rukhiyat yang merupakan generasi ke empat dari Muhammad Kaca, Minggu (12/2).

Dia adalah tokoh penentang imprialisme Belanda pada masanya, hingga kemudian diasingkan pada tahun 1892 di pulau Tidung dan wafat pada tahun 1898. Ia pun dimakamnya di sebelah barat pulau Tidung.

Selanjutnya, suku Tidung yang berada di Malinau, Kalimantan Timur mengetahui kalau di Kepulauan Seribu ada sebuah pulau yang dinamai pulau Tidung. Kemudian, beberapa orang dari suku Tidung mendatangi dan mencari asal-usul alasan pulau tersebut diberi nama pulau Tidung. Dengan harapan menemukan keterkaitan dengan sukunya, serta mencari makam Raja Tidung, yaitu Raja Pandita,  yang tidak diketahui keberadaan makamnya.

Pada bulan Februari 2011, ditemukanlah makam yang diyakini lokasi Raja Pandita dikebumikan, yang tak lain Muhammad Kaca. Ternyata, Muhammad Kaca adalah Raja Pandita, seorang raja dari kerajaan Tidung yang berada di Malinau, Kalimantan Timur yang pernah diasingkan.

"Waktu itu, penemuan makam Raja Pandita sempat menghebohkan seluruh masyarakat pulau Tidung," ujar Edy.

Pemindahan makam dimulai dengan menggali makam Raja Pandita beserta makam istrinya, Thea dan anaknya Hamidun. Prosesi pemindahan makam menggunakan adat dan tradisi suku Tidung, kerangka ketiganya dipindahkan ke lahan pemakaman baru yang berbentuk bangunan seluas 9x25 meter persegi di lahan TPU Pulau Tidung.

Pada tanggal 3 Juli 2011, Bupati Kepulauan Seribu, Achmad Ludfi dan Bupati Malinau, Yansen TP meresmikan komplek pemakaman Raja Pandita, Muhammad Kaca sebagai cagar budaya, sebuah bukti sejarah yang harus dijaga.

Sumber : himpalaunas.com 

Read More »

salah satu benteng peninggalan Belanda di Pulau Bidadari (Kep. Seribu)
Mendengar nama Pulau Seribu, pasti di benak kita akan terlintas bayangan akan sebuah tempat yang eksotis, indah dan merupakan salah satu wilayah yg tepat untuk para pelancong, baik dalam maupun luar negeri.

Benak seperti itu memang tidak salah. Gugusan Kepulauan Seribu memang suatu tempat yang amat eksotis dan sangat strategis untuk menenangkan diri dari kebisingan dan kesibukan Ibu Kota Jakarta. Tempat yang pas untuk me-refresh pikiran yang sehari-hari “dipermainkan” oleh hiruk pikuknya ibu kota. Namun, bila kita kembali pada sekitar 3 abad yang lalu, benak kita akan indahnya Pulau Seribu pasti akan sirna, apalagi untuk berpelesir kesana. Berikut sekilas mengenai sejarah dan asal-usul Pulau Seribu yang dirangkum dari berbagai sumber.

Pada abad ke-17, pulau ini merupakan penunjang aktivitas Pulau Onrust karena letaknya yang tidak berjauhan dengannya. Karena menjadi penunjang, di pulau ini dibangun pula sarana-sarana penunjang. Pada tahun 1679, VOC membangun sebuah rumah sakit lepra atau kusta yang merupakan pindahan dari Angke. Karena itulah, pulau ini sempat dinamakan Pulau Sakit.

Saat bersamaan, Belanda mendirikan benteng pengawas. Benteng yang dibangun ini lebih berfungsi sebagai sarana pengawasan untuk melakukan pertahanan dari serangan musuh. Sebelum pulau ini diduduki oleh Belanda, orang Ambon dan Belanda pernah tinggal di pulau ini.

Sekitar tahun 1800, armada laut Britania Raya menyerang pulau ini dan menghancurkan bangunan di atas pulau ini. Sekitar tahun 1803 Belanda yang kembali menguasai Pulau Bidadari dan membangunnya kembali. Akan tetapi Britania kembali menyerang tahun 1806, Pulau Onrust dan Pulau Bidadari serta pulau lainnya hancur berantakan. Tahun 1827 pulau ini kembali dibangun oleh Belanda dengan melibatkan pekerja orang Tionghoa dan tahanan. Bangunan yang dibangun adalah asrama haji yang berfungsi hingga tahun 1933.

Pulau ini sebelum menjadi resor sempat kosong dan tidak berpenghuni sampai dengan tahun 1970. Bahkan pulau ini tidak pernah dikunjungi orang. Pada awal tahun 1970-an, PT Seabreez mengelola pulau ini untuk dijadikan sebagai resor wisata.

Pada kawasan Pulau Seribu terdapat Taman Nasional yang diberi nama Taman Nasional Pulau Seribu yang mencakup 44 pulau di dalamnya dengan luas sekitar 110 Ha. Kawasan taman nasional ini mempunyai nilai konservasi tinggi karena keanekaragaman jenis dan ekosistem yang dimiliki. Program pelestarian taman nasional salah satunya adalah penangkaran penyu sisik (eretmochelys imbricata), hutan mangrove dan padang lamun di Pulau Pramuka. Pembudidayaan ikan hias banyak dilakukan di Pulau Panggang.

Wilayah konservasi lainnya adalah Pulau Rambut yang menjadi habitat bagi burung-burung asli Pulau Seribu termasuk Elang Bondol yang menjadi mascot kota Jakarta. Pulau Bokor adalah kawasan konservasi bagi kelestarian terumbu karang, mollusca dan aneka jenis biota laut yang eksotis.

Pulau Khayangan, Pulau Onrust dan Pulau Kelor memiliki banyak situs bersejarah. Di Pulau Khayangan terdapat sisa bangunan benteng lengkap dengan meriam peningggalan Belanda. Pulau Onrust dahulu merupakan galangan kapal VOC dan terdapat sisa-sisa bangunan karantina haji, sedangkan di Pulau Kelor terdapat benteng Martello yang pada masa penjajahan Belanda merupakan benteng pertahanan bagi wilayah perairan teluk Jakarta.

Sumber : mustaqimzone 

Read More »

Mendung mengelayut di langit Kepulauan Seribu, seakan tahu perahu kami sedang menuju pulau yang punya sejarah kelam dalam perjalanan Indonesia. Pulau Onrust yang berarti Pulau'istirahat' nyatanya tak pernah benar-benar beristirahat.

Dalam perjalanannya, Pulau dengan luas sekitar 7 hektar ini banyak dialihfungsikan mulai dari benteng pertahanan dan tempat logistik, pelabuhan, hingga asrama haji di zaman Belanda.

Beralih ke zaman Jepang, pulau yang pernah dihancurkan oleh gunung Karakatau ini, juga digunakan untuk memenjarakan sejumlah kriminal.

Pasca kemerdekaan, Justru Indonesia memanfaatkan pulau ini sebagai tempat karantina bagi penderita penyakit menular di bawah kontrol kementerian kesehatan. Setelah itu, tahun 1965, pengemis dan tuna wisma ditempa pelatihan militer di pulau ini.

Beragamnya sejarah yang mewarnai Pulau Onrust menyebabkan pulau ini punya situs sejarah yang bias. Dalam satu putaran mengelilingi Onrust, Anda seperti masuk ke dalam perjalanan Onrust dari tahun ke tahun.

Yang paling mencolok tentunya puing-puing asrama haji yang amat memprihatinkan. Bukan hanya akibat letusan gunung Krakatau yang menggilasnya tapi juga tangan kotor manusia yang membuat peninggalan sejarah ini semakin memburuk.

Berjalan ke dalam suasana makin tak jelas, tak ada petunjuk yang bisa diandalkan untuk setiap situs sejarah. Memang ada beberapa papan kayu yang memberikan informasi tapi sayang sudah lapuk dimakan usia.

Mendekati bibir pantai, ada beberapa makam keluarga Cornelis Van de Walck yang dulunya merupakan keluarga pengelola pulau ini. Makam ini juga berdekatan dengan makam pribumi yang kematiannya melompat 20 tahun akibat pemberontakan Zeven provicien.

Tak ketinggalan, lagi-lagi makam pemberontak,Kartosoewirjo menjadi primadona, beberapa pengunjung pun masih tampak mempercayai si pendiri NII ini dimakamkan di sana, bukan di Pulau Ubi seperti yang ditunjukan Fadli Zoen.

Tak memerlukan waktu lama untuk berkeliling di pulau ini. Berbeda dari sebelumnya yang selalu dijadikan tempat kegiatan kontroversial. Kini Pulau Onrust dipadati banyak pemancing dan tentunya sampah yang semakin menggunung. Memprihatinkan.
 
Sumber : merdeka.com 
 

Read More »

Allah SWT selalu menunjukkan kebesarannya dimanapun, meski itu berada di sebuah pulau kecil di Kepulauan Seribu. Ya, karomah sang pencipta itu dimiliki oleh Pulau Harapan, Kepulauan Seribu Utara. Pulau yang didiami sekitar 2 ribu jiwa ini memiliki sebuah masjid yang air kolamnya tak pernah kering, meski kemarau panjang melanda.

Masjid Al-Hidayah Pulau Harapan berdiri sekitar Tahun 1951 pascawarga menempati pulau itu, setelah terjadi peristiwa pengusiran sejumlah warga dari Pulau Kelapa ke Pulau Harapan yang dahulu dikenal dengan sebutan Pulau Pelemparan atau pulau bagi tempat orang yang dilempar.

Meski telah berulang kali direnovasi dan terjadi penambahan lokal Masjid, namun satu dari sejumlah bangunan yang tidak berpindah adalah sebuah bangunan berukauran 3x5 meter persegi tepat di sisi depan selatan masjid. Bangunan yang terdapat kolam air berukuran 2x3 meter persegi dengan kedalama sekitar 2 meter itu hingga kini terawat dengan baik.

Konon ceritanya, kolam yang airnya tak pernah kering itu dibuat oleh salah seorang musyafir (ulama) yang mampir ke Pulau Harapan sekitar Tahun 1967. Kala itu, bangunan masjid masih berbahan kayu dan beratap daun kelapa. Kolam itu dibuatnya untuk berwudhu saat akan shalat.

Uniknya lagi, kolam itu juga banyak terdapatat ikan air tawar yang tidak bertambah atau berkurang jumlahnya. Padahal, sejak dibuat baik pengurus masjid atau warga sekitar tidak pernah menempatkan ikan air tawar di kolam itu. Bahkan, keunikan lainnya, air kolam akan berasa lain bagi tiap orang yang mencicipinya.

Seperti dikisahkan, Nurjali (57) salah seorang Tokoh Masyarakat dan pengurus masjid. Dahulunya, kata dia, Masjid Al-Hidayah ini hanya sebuah langgar atau mushallah kecil, namun setelah warga Pulau Kelapa eksodus ke Pulau Harapan, mushallah dibuat Masjid.

"Memang pernah datang seseorang yang mungkin Wali Allah ke pulau ini. Karena akan wudhu airnya susah, tidak lama dia membuat sebuah kolam, dan mengambil wudhu," kisah Nurjali.

Setelah peristiwa itu, warga yang akan menunaikan shalat memamfaatkan kolam itu untuk berwudhu. Namun, sayang hari berganti hari, tahun berganti tahun, kolam yang penuh karomah itu kini tertutup untuk umum. Pengurus masjid menutup rapat bangunan kolam dengan alasan keselamatan warga.

"Sudah dua kali terjadi peristiwa anak-anak tenggelam di kolam ini. Keduanya meninggal dunia. Jadi, kami sepakat, kolam ini ditutup untuk umum dan untuk berwudhu telah dibuatkan di sebelah utara Masjid," katanya. (beritapulauseribu.com)

Read More »

http://www.wikimu.com/Common/NewsImage.ashx?id=1667Makam Panglima Hitam yang terletak di Pulau Tidung Kecil Kelurahan Pulau Tidung Besar Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan banyak dikunjungi dari berbagai daerah. Hal ini diungkap oleh Suharta (64) penjaga makam orang pertama di Pulau itu. Warga yang berjirah berasal dari Cilacap, Ciamis, Belitung dan warga dari Pulau Kelapa pun perna berjiara kemakam ini. “Kebanyak yang berjiarah kemakam ini, untuk mengadakan tahlil dan yasinan untuk meminta keselamatan”, kata Suharta selaku penjaga makam.

Ayah dari 5 orang anak ini juga menambahkan,kebanyakan para pe-jiarah yang datang kemakam ini pada malam jum’at keliwon dan hari libur. Makam yang mempunyai panjang 3,5 meter konon ceritanya adalah orang yang pertama kali menginjakan kakinya di Pulau Tidung Kecil ini. Nama makan tersebut adalah Ratu Pendekar Badui atau yang lebih dikenal adalah Panglima Hitam.
 
Di Pulau tersebut juga terdapat 3 makam yaitu makam Wa’Turuf dan Muhammad dua orang ini adalah pengawal setia Ratu Pendekar Badui, pendekar Badui ini melarikan diri bersama kedua pengawalnya kepulau Tidung Kecil untuk menghindari dari kejaran Seh Maulana Malik Ibrahim. Konon Ratu Pendekar Badui adalah seorang non Muslim yang di perangi oleh Seh Maulana Malik Ibrahim, sebelum akhirnya ia masuk dan memeluk agama islam bersama kedua anak buanya tersebut.

Sehingga Pulau Tidung ini dijuluki dengan sebutan Pulau Berlindung. Suharta memang bukan warga Pulau Tidung asli, warga asal Ciracas ini baru 4 tahun tinggal di Pulau Tidung Kecil ini. “Salain menjaga makam saya juga, bercocok tanam dan menanam rumput laut”, kata suami dari Emuh Rohayati ini. Walupun tidak di bayar merawat makam, ia pun merasa rela merawat serta menjaga makam orang pertama ini.

Berbagai peninggalannya pun masih ada seperti pecahan Guci, Piring, Serta besih-besih tua, namun sayangnya tidak di rawat dan di biarkan saja berada di dalam karung.Walaupun belum dijadikan objek wisata lokal oleh Pemerintah setempat,untuk mengatisipasi kelangsungan makam tua itu, inisiatif dari seorang penjaga membuat kotak amal, sehingga dengan begitu bagi penjira setiap datang wajib memberikan sedekah. Dari hasil tersebut kini di dekat makam itu sedang di buat Musolah serta untuk perbaikan makam lain disekirtar makam tersebut.

Tidak haya itu saja 7 makam makam Seh terdapat di Pulau Tidung Kecil ini seperti Makam Seh Maulana Malik Ibrahim, Seh Susu, Seh Subandari, Seh Saidina Ali, Seh Magelang, Seh Kalang Lumajang dan makam Seh Sarif Hidayatullah. Makam yang sudah ada 200 tahun ini kini manjadi primadona bagi para pejiarah baik bagi warga Pulau Tidung maupun dari berbagai penjuru daerah. (Kang Lintas)

Read More »

Ada sebuah sumur yang hingga kini masih dipercaya warga Pulau Tidung, Kepulauan Seribu Selatan yang bisa mengobat berbagai jenis penyakit. Sumur yang terletak di Pulau Tidung Kecil yang bersebelahan dengan Pulau Tidung Besar dinamai oleh warga Pulau Tidung dengan nama "Sumur Bawang".

Sumur yang baru ditemukan sekitar pertengahan tahun 2007 ini, dipercayai sudah ada semenjak tahun 1881, pada jaman Seh Maulana Malik Ibrahim. Letaknya sendiri sekitar 25 meter dari makam Ratu Pangeran Badui (Panglima Hitam).
Penemuan Sumur Bawang yang dipercaya bisa mengobati mulai dari penyakit kulit hingga penyakit lain ini, berawal dari penerawangan salah satu orang Kiyai dari Banten Tanggerang yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi yang bisa menerawang serta mepunyai indra ke enam.

Sebenarnya, di Pulau Tidung Kecil, ada tiga sumur yang dipercaya warga bisa mengobati berbagai jenis penyakit dan sumur ini yang terakhir ditemukan karena berada di tengah hutan.

Warga yang hendak mengambil air dari sumur ini pun tidak bisa mengambilnya sendiri. Menurut Suharta (64) warga Pulau Tidung ada beberapa syarat yang harus dipenuhi baru kemudian air bisa diambil dan dibawa pulang. Kini, sumur tersebut sudah dipagari untuk menjaga kebersihan sekitar sumur. (Pulau Seribu)

Read More »

Sejumlah pulau di Kepulauan Seribu, menyimpan sejarahnya masing-masing. Termasuk Pulau Edam atau yang dikenal juga dengan Pulau Damar. Di Pulau Damar, selain ada Mercusuar yang masih berdiri kokoh meski sudah berusia lebih dari seratus tahun, karena dibangun semasa pemerintahan Raja Willem III, ada juga makam Syarifah Fatimah di pulau ini.

Total ada lima makam tua di pulau ini, empat makam yang lain adalah makam pengikut Syarifah Fatimah. Siapa sebenarnya Syarifah Fatimah ini? Dia adalah gadis keturunan arab yang bekerja sebagai mata - mata di Banten pada abad ke 17. Fatimah ini sempat menjadi penguasa Banten
Kala itu, Banten tengah berkembang dengan pesat dan dikhawatirkan akan bekerjasama dengan Kerajaan Mataram. Fatimah juga disunting oleh Sultan Arifin, Raja Banten saat itu. Fatimah kemudian mengkudeta kekuasaan suaminya dan dibuang ke Ambon.
Kekuasaan Fatimah tidak berlangsung lama karena bulan Oktober 1750, rakyat Banten berontak. Fatimah akhirnya meminta bantuan Belanda untuk menyelamatkannya. Fatimah sempat mendapat perlindungan di Batavia atau Jakarta Sekarang.

Namun, tentara Belanda yang mencoba menyelamatkan Fatimah dipukul oleh rakyat Banten. Fatimah sempat diselamatkan dan dilarikan ke Pulau Edam yang saat itu dilanda wabah Malaria. Hidup terasing, meski ditemani empat pengikutnya, Fatimah menderita. Di pulau ini, dia tutup usia.

Pulau ini, semacam pulau mati. Rencananya, akan dibangun PLTG disini untuk menyuplai listrik ke DKI Jakarta termasuk Kepulauan Seribu. Meski hanya ada mercusuar, Pulau ini juga menjadi saksi bisu sejarah bangsa dan DKI Jakarta. (berbagai sumber/Kang Lintas

Read More »